Sesuai permintaan kalian aku lanjutkan cerbung Andaikan... ya! ;)
***
Untuk Part 4, klik di
sini.
Aku dan Anit segera menuju ruang kepala sekolah sesuai perintah. Dalam hati sebenarnya aku bertanya-tanya. Sesampainya ke ruang yang kami tuju... aku dan Anit dikejutkan oleh sesuatu.
Dinda menangis disana!
Aku tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi saat ini. Namun, Bu Kepala Sekolah mulai membuka mulut.
"Barusan siapa ya yang bertengkar?" tanya Bu Kepala Sekolah.
"DIA!" teriak Dinda sambil menutupi mukanya, lalu mengintip sebentar.
Sebentar-sebentar. Mengintip? Oh... aku sadar kalau Dinda hanya berpura-pura! batinku.
"Tenang, Dinda. Ibu tahu kalau kamu kesal dan kesakitan akan rambutmu itu, tetapi tolong tenang dulu," perintah Bu Kepala Sekolah. Nah, apa lagi ini?! Kesakitan akan rambut?! Maksudnya, kami menjambaknya?
"Ibu ulang, barusan siapa ya yang bertengkar?" ulang Bu Kepala Sekolah sambil berdeham sesekali.
"bukan saya, Bu!" aku langsung menjawab cepat.
"Lalu?" potong Bu Kepala Sekolah. Dia berdeham lagi. "selain kamu, ehem... maksud saya kalian, siapa yang bertengkar? Din..."
"orang lain, Bu..." sela Anit lemas.
"Dinda menangis disini diakibatkan kalian bertengkar dengannya. Benar begitu, kan?" jelas Bu Kepala Sekolah.
Aku melirik Anit dengan tatapan, "sekarang aku tahu". Anit mengangguk.
"Saya perlu jelaskan semua, Bu. Sebenarnya, tadi..."
"jangan dengarkan dia, Bu!" seru Dinda cepat dengan nada ketakutan.
Bu Kepala Sekolah menggeleng. "Tidak, Dinda. Ibu harus mendengarkan penjelasan yang jelas juga, dari orang yang telah bertengkar denganmu,"
Dinda mendadak lemas.
"Sebenarnya, tadi..." Anit menghela napas sebentar. "saya mengajak Lisha main, Bu..."
Oops! Anit menutup mulut. MAIN? Oh god, bukankah tidak boleh main?
Bu Kepala Sekolah tetap santai. "tetap lanjutkan." Ia terlihat tak senang.
"Dan Dinda tidak mau Lisha ikut, dan meleceh-lecehkan Lisha. Menurut saya seharusnya Lisha yang menangis karena Lisha yang diejek, soal bertengkar, kami tidak, Bu. Mungkin Dinda yang membuat bertengkar mulut karena dia lebih dahulu mengejek Lisha," cerita Anit panjang lebar.
"Ehem..." Bu Kepala Sekolah berdeham kencang. "Oke, semua. Siapa yang mengusulkan ide main ini?!" katanya sedikit membentak.
Aku menelan ludah. "K... kata... teman-teman, i... itu usul Dinnn...Ddda, Bbbu," jawabku gemetaran.
"oke. Saya percaya pada kalian, Lisha dan Anit. Dinda yang mengarang-ngarang cerita dan menyalahkan kalian!" ujar Bu Kepala Sekolah. "Dan kalian boleh kembali. Tapi ingat, jangan sampai kalian MENERIMA tawaran teman lain untuk main! Dilarang, ya!" sambungnya.
"Terima kasih, Bu!" ucapku dan Anit berbarengan.
"Ehem..." Bu Kepala Sekolah kembali berdeham. "Dinda, tetap di sini."
Aku dan Anit tersenyum senang.
"Anit, senang, ya, kita gak tersangka!" kataku.
"yaps," jawab Anit singkat. "Kantin, yuk," ajaknya.
"Ayuk," aku mengiyakan.
Dalam perjalanan ke kantin, jalan sangat sepi. Aku mulai merasa tak enak. Tiba-tiba...
"LEPAAAAAAS!" teriakku minta tolong.
"LEPASKAN KAMI!" bantu Anit berteriak.
"Diam!" seru orang dari belakang itu. Ia lalu membekap mulutku. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tanganku diikat, kakiku ditahan...
Ya, Allah. Tolonglah kami! Siapa mereka!
TO BE CONTINUED...